Tari Gandrung (sumber: melayuonline.com) |
Tari Gandrung merupakan sebuah tarian yang kini berkembang di tiga daerah, yaitu Banyuwangi, Bali, dan Lombok.
Meskipun memiliki kemiripan, Tari Gandrung ketiga daerah ini memiliki
ciri khas tersendiri yang tidak dimiliki di daerah yang lain. Demikian
pula dengan yang terjadi pada Tari Gandrung yang ada di Lombok.
Meskipun Lombok dan Bali memiliki kemiripan budaya, tetapi Tari
Gandrung di Lombok memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda dengan
Tari Gandrung yang ada di Bali. Inilah ciri khas dari Lombok yang tidak dimiliki di Pulau Bali. ”Lombok sering digambarkan oleh orang luar sebagai versi kecil Bali. Tetapi penduduk Lombok
sendiri akan mengatakan bahwa, `Anda akan melihat Bali di Lombok,
tetapi tidak akan melihat Lombok di Bali`.” (Sepora Nawadi, 1995:14).
Tulisan berikut ini secara khusus akan berbicara tentang Tari Gandrung
yang berada di Lombok, Nusa Tenggara Barat beserta unsur simbolis yang tersaji dalam sebuah pertunjukkan Tari Gandrung.
Gandrung dalam pemahaman masyarakat Lombok, khususnya masyarakat Sasak adalah nama sebuah pertunjukan yang dilakukan seorang penari wanita yang diiringi seperangkat gamelan (sabarungan dalam istilah suku Sasak), puisi, dan nyanyian (dalam bahasa suku Sasak disebut lelakaq, sandaran)
(R. Diyah Larasati, 1996:16). Pertunjukan Gandrung ini dilakukan dalam
perayaan desa setelah masa panen padi. Gandrung menunjukkan suka cita
dan harapan bersama masyarakat Sasak. Gandrung sekaligus juga merupakan
ekspresi simbolis masyarakat Sasak di Lombok (R. Diyah Larasati,
1996:16).
Ekspresi
simbolis lewat Gandrung bagi masyarakat Sasak diwujudkan melalui dunia
makna yang secara signifikan berada dalam sistem ideasional yang juga
terefleksikan dalam interaksi sosial. Ditambah lagi adanya artefak yang
melegitimasi keberadaan pertunjukan itu di tengah-tengah para
penikmatnya (R. Diyah Larasati, 1996:17). Menurut R. Diyah Larasati,
sistem ideasional yang dimaksud adalah konteks berfikir serta
gagasan-gagasan para pelaku pertunjukan Gandrung. Dalam perspektif ini,
Gandrung dipakai sebagai media untuk melepaskan harapan dan suka cita.
Alam yang terefleksi melalui harapan akan melimpahnya panen padi,
berusaha untuk dapat dikuasai dengan sebuah keharmonisasian melalui
ungkapan suka cita dalam seni pertunjukan ini. Dalam pemikiran ini, alam
dan manusia sebagai elemen kebudayaan mampu membentuk suatu harmoni
(R. Diyah Larasati, 1996:17).
Dilihat dari asal-usul, Tari Gandrung yang terdapat di Lombok kemungkinan bukan berasal dari kebudayaan asli Lombok
(masyarakat Sasak). Hal ini bisa dilihat dari adanya Tari Gandrung
yang juga terdapat di beberapa daerah lainnya, misalnya saja di
Banyuwangi dan Bali. Beberapa
budayawan atau peneliti akhirnya mencoba menelusuri dan menafsirkan
asal-usul Tari Gandrung sehingga menjadi sebuah kebudayaan yang cukup
sakral bagi masyarakat Sasak di Lombok.
Seperti tertulis dalam Tari Gandrung Lombok (1993/1994),
I Wayan Kartawirya menyatakan bahwa Tari Gandrung berasal dari
Banyuwangi, kemudian menyebar lewat Bali dan akhirnya sampai di Lombok. Alasannya didasarkan pada Indische Staatsbald, Nomor: 123 tahun 1852 yang mengatur tentang Pemerintahan Hindia Belanda. Dalam Staatsblad tersebut disebutkan bahwa Pulau Lombok, termasuk ke dalam Keresidenan Bali dan Lombok
dengan ibukota mula-mula Banyuwangi, kemudian pindah ke Singaraja di
Bali. Asal-usul Tari Gandrung di Lombok juga terdapat dalam buku Monografi Daerah Nusa Tenggara Barat Jilid
I (1977:133). Di dalam buku tersebut dituliskan bahwa Tari Gandrung
berasal dari Banyuwangi (Jawa Timur) kemudian berkembang di Lombok
melalui Bali, pada masa Bali dan Lombok Barat (Karangasem) merupakan kesatuan daerah kultural. Dari pendapat ini jelas tergambar bahwa Tari Gandrung mulai masuk dan berkembang di Lombok
sebelum Kerajaan Lombok (Karangasem) terakhir jatuh pada 1894.
Pendapat berikutnya datang dari David Harnish dalam Thesisnya yang
berjudul Musical Traditions of the Lombok Balinese (1985:105).
Disebutkan dalam tulisan beliau bahwa bentuk Tari Gandrung di Lombok
diperkirakan sebagai suatu adaptasi dari model Banyuwangi yang
berkembang lewat Bali. Akan tetapi
pada perkembangan selanjutnya di Lombok, Tari Gandrung ini menyerap
pula bentuk-bentuk atau karakter lokal (Sri Yaningsih et.al.,
1993/1994:14-15).
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa Tari Gandrung yang ada di Lombok awalnya berasal dari Banyuwangi, Jawa Timur. Sejak kapan dan bagaimana sehingga Tari Gandrung bisa masuk ke Lombok,
secara spesifik belum diketahui secara pasti. Hanya saja terdapat
beberapa pendapat yang bisa dijadikan keterangan tentang kapan Tari
Gandrung tersebut masuk ke Lombok. Misalnya saja pendapat dari I Wayan Kartawirya yang mendasarkan pendapatnya dari Indische Staatsbald, Nomor: 123 tahun 1852. Dari pendapat ini setidaknya terdapat sedikit keterangan bahwa Tari Gandrung telah masuk ke Lombok setelah tahun 1852. Ukuran waktu juga dapat dilihat dari pendapat yang tertulis dalam buku Monografi Daerah Nusa Tenggara Barat Jilid I (1977). Pendapat yang mendasarkan tentang kesatuan kultural yang terjadi antara Bali
dan Lombok Barat (Karangasem), menyisakan sedikit keterangan bahwa
peristiwa kesatuan kultural tersebut terjadi sebelum Kerajaan Lombok
(Karangasem) terakhir jatuh pada 1894. Agak berbeda dengan dua pendapat
di atas, I Wayan Kartawirya berpendapat bahwa Tari Gandrung mulai
masuk ke Lombok seiring dengan diangkatnya I Gusti Putu Geria sebagai
Pepatih untuk mengepalai orang-orang suku Bali di Lombok sebagai
pengganti kedudukan raja Lombok (Raja Agung Ngurah) yang ditaklukan
oleh Belanda pada 18 November 1894 (Sri Yaningsih et.al.,
1993/1994:13). Pada waktu I Gusti Putu Geria ini memerintah, beliau
sempat mendatangkan rombongan kesenian dari Bali Utara (Singaraja) ke Mataram.
Di antara rombongan kesenian tersebut, salah satunya adalah Tari
Gandrung. I Wayan Kartawirya tidak menyebutkan secara pasti kapan
peristiwa itu terjadi. Beliau hanya memperkirakan bahwa kejadian itu
berlangsung antara 1907-1910. Menurut beliau, sejak I Gusti Putu Geria
mengundang rombongan kesenian dari Bali Utara ini, maka mulai
berdatanganlah berbagai jenis tari lainnya dari Bali Utara ke Lombok
(Sri Yaningsih et.al., 1993/1994:13-14). Dari ketiga pendapat di atas
dapat disimpulkan bahwa kemungkinan, Tari Gandrung mulai masuk ke Lombok setelah tahun 1852 sampai 1910. Setelah tahun 1910 Tari Gandrung telah berkembang di Lombok. Jadi kemungkinan terdapat interval 58 tahun proses masuknya Tari Gandrung ke Lombok.
Dari kiri ke kanan: Barungan Gamelan Gandrung Desa Dasan Tereng, Barungan Gamelan Gandrung Desa Lenek (memakai cungklik dan suling belo), dan Barungan Gamelan Gandrung Desa Suwangi |
Tari
Gandrung bagi masyarakat Sasak memuat berbagai makna, seperti ungkapan syukur,
suka cita, harapan, sampai dengan kesakralan yang tercermin lewat berbagai
sesaji sebelum pertunjukan Tari Gandrung ditampilkan. Lewat Tari Gandrung
inilah, simbolisasi tentang harmonisasi antara alam dan manusia dicoba utuk
digambarkan oleh para penarinya. Ajaran untuk memanusiakan alam memang akrab
bagi masyarakat Sasak di Lombok. Ajaran untuk memanusiakan alam inilah yang mengiringi
kehidupan sehingga membentuk kebudayaan Sasak. Mengutip pendapat Bakker,
“Kebudayaan adalah alam kodrat sendiri sebagai milik manusia, sebagai ruang
lingkup realisasi diri. Dalam kebudayaan manusia memanusiakan alam, termasuk
dirinya sendiri” (Bakker, J.W.M., 1979:4).
Simbolisasi
yang sangat erat dalam Tari Gandrung dapat dipahami pula sebagai sebuah nilai
kebudayaan. Karena dengan melestarikan nilai simbolis ini, berarti pula telah
melestarikan tradisi yang merupakan bagian penting dari sebuah kebudayaan.
Beragam nilai simbolis yang berada dalam Tari Gandrung antara lain: penari
utama dan pengibing. Sebagai sebuah dunia simbolis tentang kesuburan (dimainkan
pasca panen padi), pelaku utama dalam Tari Gandrung adalah wanita yang
sekaligus merupakan jalinan penyusun makna yang secara inderawi hanya bisa
tertangkap visualnya, tetapi dari sisi ini pelaku yang dalam hal ini penari
Gandrung adalah makna itu sendiri yang disimbolkan dengan penari (R. Diyah
Larasati, 1996:17). Wanita dalam hal ini lebih dimaknai sebagai media
pengucapan syukur atas panen padi kepada dewi kesuburan. Wanita dalam konteks
ini pula berperan sebagai tokoh sentral dalam sebuah tarian yang memegang peran
penting dan sangat dihormati. Kehormatan untuk bisa mengibing dengan penari Gandrung
merupakan penghargaan bagi masyarakat Sasak. Demikian pula dengan beberapa
aturan yang harus dipatuhi dalam prosesi mengibing. Hal ini secara tersirat
menggambarkan bahwa di lingkungan masyarakat Sasak, sosok wanita mendapat
kedudukan yang tidak rendah. Kaum wanita dihormati karena memiliki nilai
tersendiri yang tidak dimiliki oleh kaum pria.
Makna
simbolis lainnya tergambar dalam penepekan, yaitu gerak menyentuhkan kipas
antara penari Gandrung kepada salah satu penonton (R. Diyah Larasati, 1996:20).
Makna simbolis yang tersirat dalam bagian ini adalah penyatuan gerak dua dunia,
yaitu penari dan penonton dalam satu adegan dan arena yang dikenal dengan
adegan pengibingan (R. Diyah Larasati, 1996:20). Dari adegan pengibingan ini
pula terkandung makna susila yang diwujudkan dengan rambun/tangkai sesumping yang
terbuat dari bambu yang tajam/runcing. Fungsi dari rambun ini sebagai
pengendali apabila pengibing melakukan tindakan asusila. Di sini tergambar
adanya norma kebebasan tetapi tetap menjaga kewaspadaan dan saling menghormati
antara pelaku pertunjukan. Hal ini merupakan refleksi sistem sosial
(kebudayaan) yang melingkupi komunitas Sasak (R. Diyah Larasati, 1996:20).
Selain
makna simbolis di atas, dalam tradisi masyarakat Sasak, seorang penari Gandrung
merupakan seorang perempuan yang masih gadis atau remaja. Seperti ditulis dalam
artikel R. Diyah Larasati, “Gandrung di Lombok Barat: Ekspresi Simbolis
Komunitas Sasak”, penari yang dipilih biasanya masih memiliki hubungan darah
dengan penari sebelumnya. Para penari ini terus bergantian melakukan proses
transmisi (pewarisan) kepada para gadis yang lebih muda. Biasanya pergantian
ini terjadi karena seorang penari menikah atau pergi ke luar desa. Apabila
sampai pada suatu saat tidak ada seorang gadispun yang bisa menggantikan
kedudukan penari sebelumnya, maka penari tersebut akan memilih melajang (tidak
kawin) dan memenuhi tugas simbolis masyarakat pendukungnya (R. Diyah Larasati,
1996 :22-23). Di sinilah pengorbanan menjadi sebuah konsekuensi bagi
para wanita penari Gandrung. Pengorban yang harus dilakukan demi melestarikan
nilai-nilai simbolisasi budaya yang terdapat pada masyarakat Sasak di Lombok.
No comments:
Post a Comment