Ini cerita tentang sebuah keseimbangan dan rasa syukur. Tentang
rumusan harmonisasi hidup di sebuah kota berusia tiga abad lebih
bernama Mataram, khususnya bagi pemeluk Hindu dan Muslim suku Sasak. Ada
begitu banyak cara untuk mewujudkan hubungan sosial yang manis. Tapi,
di ibu kota tanah Nusa Tenggara Barat ini, menghormati perbedaan
keyakinan dengan bersikap ramah atau saling tegur sapa saja tidaklah
cukup. Ada ritual rutin yang mesti dijalani. Ada prosesi
yang tak pernah ditinggalkan. Tradisi yang justru menepikan segala
omong-kosong tentang penghargaan terhadap perbedaan keyakinan. Sebab
ini adalah jalan bukti merakit kebersamaan.
Setiap tahun tepat ketika purnama tiba, saat bulan memasuki hitungan keenam dalam kalender Hindu, atau ketujuh bagi penganut suku Sasak muslim. Ritual cermin kerukunan itu pun digelar. Masyakat di Mataram menyebut ritual itu perang-topat. Sesungguhnya perang topat adalah bagian dari upacara pujawali. Bagi suku Sasak, Pujawali adalah prosesi mengenang syekh Kyai Haji Abdul Malik, salah seorang penyiar agama Islam di pulau Lombok. Sedangkan bagi umat Hindu, pujawali adalah memuja Tuhan berulang kali setiap tahun. Dan di Mataram, kedua umat ini tak ingin berjalan sendiri-sendiri. Agama mereka boleh berbeda tapi adat telah melahirkan dan membuat mereka larut dalam kebersamaan menuju puncak perang esok hari.
Pura Lingsar. Pura ini berdiri pada pertengahan abad 18 atas gagasan Raja Anak Agung Ngurah dari kerajaan Karang Asem, Bali, yang ketika itu memerintah bagian barat Pulau Lombok. Di sekitar pura inilah seribu lebih umat Islam dan Hindu bakal terlibat atraksi perang topat atau aksi saling lempar dengan menggunakan ketupat. Perang kolosal yang sejatinya menjadi ajang pembauran antara dua agama besar di Pulau Lombok. Sebelum abad ke 16 Lombok berada dalam kekuasan Majapahit dengan dikirimkannya Maha Patih Gajah Mada. Pengaruh Jawa Islam muncul lewat dakwah Sunan Giri di pengujung abad 17. Hal ini sedikit banyak mempengaruhi perubahan agama suku Sasak yang sebelumnya Hindu menjadi Islam.
Dalam kitab negara Kertagama kata Sasak disebut menjadi satu dengan Pulau Lombok, yakni Lombok Sasak Mirah Adhi. Menurut tradisi lisan warga setempat gabungan kata Sasak dan Lombok dipercaya bermakna jalan yang lurus. Peristiwa besar ke-Islaman seperti Maulud Nabi Muhammad rutin mereka lakukan saban tahun. Dan datanglah Kerajaan Gel Gel atau Karangasem, Bali, menguasai Lombok pada abad ke 18 yang melahirkan komunitas Hindu Bali. Jejak kedigdayaan kerajaan gel-gel atau Karangasem masih tampak hingga kini. Ada banyak komunitas Hindu Bali di sekitaran Mataram dan Lombok barat yang mengusung ritual leluhur Hindu Bali. Kini sejarah telah lama berlalu. Komunitas Hindu dan Muslim yang hidup berdampingan disatukan lewat tawuran kolosal menggunakan makanan ketupat segi lima yang diyakini bisa membawa berkah. Hari yang ditunggu tiba. Napak tilas prosesi sebelum perang segera dimulai. Inilah ritual rekam jejak perjalanan Syekh Kyai Haji Abdul Malik ketika menyiarkan agama Islam di Pulau Lombok. Pada saat inilah kaum muslim Sasak dan Hindu berkumpul mempersiapkan segala sesuatunya bersamaan. Sedianya mereka akan membentuk barisan dan mengelilingi kemalik atau rumah suci milik umat Sasak dan pura lingsar milik umat Hindu. Disini pula akan tampak kebersamaan dan kesamaan hak antara kedua umat. Tak ada lagi batas antara suku agama dan golongan. Ada ruang silaurahmi yang luas yang mempertegas makna persaudaraan.
Kerbau menjadi binatang paling penting. Binatang ini adalah simbol perbekalan Syek Kyai Haji Abdul Malik saat berdakwah. Pemilihan kerbau dalam napak tilas bukan tanpa alasan. Semua didasari toleransi antara umat Sasak dan Hindu. Jika menggunakan sapi dikhawatirkan akan menyinggung perasaan umat Hindu. Sebab sapi adalah hewan yang dimuliakan dan dihormati kalangan Hindu. Begitu pula sebaliknya. Jika yang digunakan babi akan membuat umat Islam tak nyaman mengingat bagi umat islam hewan itu adalah binatang haram.
Dan perang pun dimulai. Ketupat dibagikan ke setiap umat. Aksi saling lempar, saling menghindar tak terelakkan. Lazimnya sebagian besar peserta perang percaya ketupat yang telah dipakai bisa membawa kesuburan tanah. Kesuburan yang begitu diharapkan agar tak cuma harmonisasi antar umat yang tumbuh, tapi padi mereka di sawah pun bisa tumbuh dan diberkahi Sang Kuasa.
Setiap tahun tepat ketika purnama tiba, saat bulan memasuki hitungan keenam dalam kalender Hindu, atau ketujuh bagi penganut suku Sasak muslim. Ritual cermin kerukunan itu pun digelar. Masyakat di Mataram menyebut ritual itu perang-topat. Sesungguhnya perang topat adalah bagian dari upacara pujawali. Bagi suku Sasak, Pujawali adalah prosesi mengenang syekh Kyai Haji Abdul Malik, salah seorang penyiar agama Islam di pulau Lombok. Sedangkan bagi umat Hindu, pujawali adalah memuja Tuhan berulang kali setiap tahun. Dan di Mataram, kedua umat ini tak ingin berjalan sendiri-sendiri. Agama mereka boleh berbeda tapi adat telah melahirkan dan membuat mereka larut dalam kebersamaan menuju puncak perang esok hari.
Pura Lingsar. Pura ini berdiri pada pertengahan abad 18 atas gagasan Raja Anak Agung Ngurah dari kerajaan Karang Asem, Bali, yang ketika itu memerintah bagian barat Pulau Lombok. Di sekitar pura inilah seribu lebih umat Islam dan Hindu bakal terlibat atraksi perang topat atau aksi saling lempar dengan menggunakan ketupat. Perang kolosal yang sejatinya menjadi ajang pembauran antara dua agama besar di Pulau Lombok. Sebelum abad ke 16 Lombok berada dalam kekuasan Majapahit dengan dikirimkannya Maha Patih Gajah Mada. Pengaruh Jawa Islam muncul lewat dakwah Sunan Giri di pengujung abad 17. Hal ini sedikit banyak mempengaruhi perubahan agama suku Sasak yang sebelumnya Hindu menjadi Islam.
Dalam kitab negara Kertagama kata Sasak disebut menjadi satu dengan Pulau Lombok, yakni Lombok Sasak Mirah Adhi. Menurut tradisi lisan warga setempat gabungan kata Sasak dan Lombok dipercaya bermakna jalan yang lurus. Peristiwa besar ke-Islaman seperti Maulud Nabi Muhammad rutin mereka lakukan saban tahun. Dan datanglah Kerajaan Gel Gel atau Karangasem, Bali, menguasai Lombok pada abad ke 18 yang melahirkan komunitas Hindu Bali. Jejak kedigdayaan kerajaan gel-gel atau Karangasem masih tampak hingga kini. Ada banyak komunitas Hindu Bali di sekitaran Mataram dan Lombok barat yang mengusung ritual leluhur Hindu Bali. Kini sejarah telah lama berlalu. Komunitas Hindu dan Muslim yang hidup berdampingan disatukan lewat tawuran kolosal menggunakan makanan ketupat segi lima yang diyakini bisa membawa berkah. Hari yang ditunggu tiba. Napak tilas prosesi sebelum perang segera dimulai. Inilah ritual rekam jejak perjalanan Syekh Kyai Haji Abdul Malik ketika menyiarkan agama Islam di Pulau Lombok. Pada saat inilah kaum muslim Sasak dan Hindu berkumpul mempersiapkan segala sesuatunya bersamaan. Sedianya mereka akan membentuk barisan dan mengelilingi kemalik atau rumah suci milik umat Sasak dan pura lingsar milik umat Hindu. Disini pula akan tampak kebersamaan dan kesamaan hak antara kedua umat. Tak ada lagi batas antara suku agama dan golongan. Ada ruang silaurahmi yang luas yang mempertegas makna persaudaraan.
Kerbau menjadi binatang paling penting. Binatang ini adalah simbol perbekalan Syek Kyai Haji Abdul Malik saat berdakwah. Pemilihan kerbau dalam napak tilas bukan tanpa alasan. Semua didasari toleransi antara umat Sasak dan Hindu. Jika menggunakan sapi dikhawatirkan akan menyinggung perasaan umat Hindu. Sebab sapi adalah hewan yang dimuliakan dan dihormati kalangan Hindu. Begitu pula sebaliknya. Jika yang digunakan babi akan membuat umat Islam tak nyaman mengingat bagi umat islam hewan itu adalah binatang haram.
Dan perang pun dimulai. Ketupat dibagikan ke setiap umat. Aksi saling lempar, saling menghindar tak terelakkan. Lazimnya sebagian besar peserta perang percaya ketupat yang telah dipakai bisa membawa kesuburan tanah. Kesuburan yang begitu diharapkan agar tak cuma harmonisasi antar umat yang tumbuh, tapi padi mereka di sawah pun bisa tumbuh dan diberkahi Sang Kuasa.
No comments:
Post a Comment