Setiap hari rabu terakhir bulan Safar dalam Kalendar Hijriah, Kawasan
Pantai Tanjung Menangis, Desa Ketapang, Kecamatan Pringgabaya,
Kabupaten Lombok Timur, menjadi perhatian ribuan orang. Mereka berkumpul
untuk menggelar rangkaian ritual Rebo Buntung dan Tetulaq Tamperan.
Dalam kebudayaan masyarakat Lombok, ritual ini adalah untuk menolak
bala dan bentuk syukur kepada Tuhan atas semua nikmat yang diberikan. Di
tiap tahunnya, tradisi ini dilaksanakan hanya di tiga tempat di Sungai
Jangkuk (Dasan Agung, Kota Mataram), Pantai Tanjung Menangis
(Pringgabaya, Lombok Timur), dan di Desa Kuranji (Labuapi, Lombok
Barat). Ritual Rebo Buntung dan Tetulaq Tamperan di Pantai Tanjung
Menangis sendiri, pelaksanaannya melewati rangkaian-rangkaian selama
beberapa hari, dan puncaknya pada hari Rabu pada minggu itu.
Dalam prosesinya, segenap lapisan masyarakat, termasuk tokoh adat
berkumpul di Pantai Tanjung Menangis, Ketapang, untuk melarung atau
melepas kepala sapi – di awal-awal pelaksanaannya menggunakan kepala
kerbau – ke tengah laut. Selain kepala sapi, ada juga pesaji/sesaji
lainnya yang dipersiapkan. Pesaji/sejaji berupa hasil bumi seperti padi,
buah-buahan, daun sirih, ayam hidup dan lainnya. Kepala sapi dan
seluruh sesaji lainnya itu kemudian di buang ke laut menggunakan perahu.
Setelah itu, masyarakat yang sudah mengikuti rangkaian acara dari pagi
beramai-ramai mandi ke laut yang dipercaya sebagai cara untuk
membersihkan diri dari sikap negatif, serta melahirkan kedamaian dalam
kehidupan bermasyarakat.
Tapi keseluruhan, tujuan luhur dari Ritual Rebo Buntung dan Tetulaq
Tamperan yang berdasarkan catatan sejarah sudah berusia 144 tahun itu
sebenarnya adalah bentuk kesadaran dari dulu, dari nenek moyang warga
Pringgabaya hingga sekarang, yang percaya bahwa kehidupan mereka tidak
bisa lepas dari alam. Mereka percaya bahwa semua yang diperoleh berasal
dari alam dan harus dikembalikan ke alam.
Bahkan,
untuk mempertegas pentingnya memiliki kesadaran ini, Bupati Lombok
Timur yang hadir, dalam sambutannya menyampaikan bahwa ketika kita
bersahabat dengan alam, maka alam juga akan bersahabat dengan kita,
begitupun sebaliknya, jika kita tidak bersahabat dengan alam, maka
siap-siaplah untuk menerima bencana. Bupati juga menyampaikan bahwa
ritual ini adalah upaya untuk melahirkan kedamaian, ketenangan dan
kenyamanan dalam kehidupan masyarakat. Sehingga, ia mengajak seluruh
masyarakat untuk menyeimbangkan kehidupan dengan alam agar tetap
lestari. Ia menilai bahwa alam selama ini disalah artikan, hanya
dianggap sebagai ladang eksplorasi, yang hanya diambil isinya, tapi
tidak dilestarikan. Munculnya berbagai bencana alam akibat perubahan
iklim, disadari sebagai akibat dari rusaknya keseimbangan alam, sehingga
ia berkali-kali mengajak masyarakat yang hadir untuk menghindari segala
bentuk tindakan yang dapat merusak keseimbangan alam.
Oleh karena ini, pemerintah Lombok Timur akan berupaya memberikan
perhatian agar ritual ini terus dilestarikan ke depan sebagai upaya
untuk tetap mendekatkan masyarakat akan pentingnya menjaga dan cinta
pada alam. Wilayah Pringgabaya sendiri, memiliki panjang perairan laut
sekitar 27, 38 km. Di Area Pantai Tanjung Menangis sendiri, ada sekitar
300 KK yang menjadi keluarga nelayan. Sayang, beberapa tahun terakhir
ini, jumlah hasil tangkapan mereka terus mengalami penurunan. Ada
Perusahaan Tambang besar di pulau seberang yang memang jaraknya tidak
begitu jauh dari erkampungan nelayan disana, plus beberapa pihak yang
seringkali melakukan penangkapan ikan dengan pengeboman, diyakini
menjadi penyebab hal itu.
Selain Rabo Buntung, bentuk kearifan lokal yang juga masih dipelihara
dengan baik oleh masyarakat Pringgabaya, yang juga sebagai bentuk
syukur pada Tuhan dan Alam adalah Ritual Tetulaq Desa, dan Tetulaq
Kampung. Kedua ritual tersebut dilaksanakan sebulan sebelum Rebo Buntung
dan Tetulaq Tamperan dilaksanakan.
No comments:
Post a Comment