Monday, July 7, 2014

Tari Gandrung, Simbol Budaya Masyarakat Sasak di Lombok

Tari Gandrung (sumber: melayuonline.com)
Tari Gandrung merupakan sebuah tarian yang kini berkembang di tiga daerah, yaitu Banyuwangi, Bali, dan Lombok. Meskipun memiliki kemiripan, Tari Gandrung ketiga daerah ini memiliki ciri khas tersendiri yang tidak dimiliki di daerah yang lain. Demikian pula dengan yang terjadi pada Tari Gandrung yang ada di Lombok. Meskipun Lombok dan Bali memiliki kemiripan budaya, tetapi Tari Gandrung di Lombok memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda dengan Tari Gandrung yang ada di Bali. Inilah ciri khas dari Lombok yang tidak dimiliki di Pulau Bali. ”Lombok sering digambarkan oleh orang luar sebagai versi kecil Bali. Tetapi penduduk Lombok sendiri akan mengatakan bahwa, `Anda akan melihat Bali di Lombok, tetapi tidak akan melihat Lombok di Bali`.” (Sepora Nawadi, 1995:14). Tulisan berikut ini secara khusus akan berbicara tentang Tari Gandrung yang berada di Lombok, Nusa Tenggara Barat beserta unsur simbolis yang tersaji dalam sebuah pertunjukkan Tari Gandrung.
Gandrung dalam pemahaman masyarakat Lombok, khususnya masyarakat Sasak adalah nama sebuah pertunjukan yang dilakukan seorang penari wanita yang diiringi seperangkat gamelan (sabarungan dalam istilah suku Sasak), puisi, dan nyanyian (dalam bahasa suku Sasak disebut lelakaq, sandaran) (R. Diyah Larasati, 1996:16). Pertunjukan Gandrung ini dilakukan dalam perayaan desa setelah masa panen padi. Gandrung menunjukkan suka cita dan harapan bersama masyarakat Sasak. Gandrung sekaligus juga merupakan ekspresi simbolis masyarakat Sasak di Lombok (R. Diyah Larasati, 1996:16).
Ekspresi simbolis lewat Gandrung bagi masyarakat Sasak diwujudkan melalui dunia makna yang secara signifikan berada dalam sistem ideasional yang juga terefleksikan dalam interaksi sosial. Ditambah lagi adanya artefak yang melegitimasi keberadaan pertunjukan itu di tengah-tengah para penikmatnya (R. Diyah Larasati, 1996:17). Menurut R. Diyah Larasati, sistem ideasional yang dimaksud adalah konteks berfikir serta gagasan-gagasan para pelaku pertunjukan Gandrung. Dalam perspektif ini, Gandrung dipakai sebagai media untuk melepaskan harapan dan suka cita. Alam yang terefleksi melalui harapan akan melimpahnya panen padi, berusaha untuk dapat dikuasai dengan sebuah keharmonisasian melalui ungkapan suka cita dalam seni pertunjukan ini. Dalam pemikiran ini, alam dan manusia sebagai elemen kebudayaan mampu membentuk suatu harmoni (R. Diyah Larasati, 1996:17).
Dilihat dari asal-usul, Tari Gandrung yang terdapat di Lombok kemungkinan bukan berasal dari kebudayaan asli Lombok (masyarakat Sasak). Hal ini bisa dilihat dari adanya Tari Gandrung yang juga terdapat di beberapa daerah lainnya, misalnya saja di Banyuwangi dan Bali. Beberapa budayawan atau peneliti akhirnya mencoba menelusuri dan menafsirkan asal-usul Tari Gandrung sehingga menjadi sebuah kebudayaan yang cukup sakral bagi masyarakat Sasak di Lombok.
Seperti tertulis dalam Tari Gandrung Lombok (1993/1994), I Wayan Kartawirya menyatakan bahwa Tari Gandrung berasal dari Banyuwangi, kemudian menyebar lewat Bali dan akhirnya sampai di Lombok. Alasannya didasarkan pada Indische Staatsbald, Nomor: 123 tahun 1852 yang mengatur tentang Pemerintahan Hindia Belanda. Dalam Staatsblad tersebut disebutkan bahwa Pulau Lombok, termasuk ke dalam Keresidenan Bali dan Lombok dengan ibukota mula-mula Banyuwangi, kemudian pindah ke Singaraja di Bali. Asal-usul Tari Gandrung di Lombok juga terdapat dalam buku Monografi Daerah Nusa Tenggara Barat Jilid I (1977:133). Di dalam buku tersebut dituliskan bahwa Tari Gandrung berasal dari Banyuwangi (Jawa Timur) kemudian berkembang di Lombok melalui Bali, pada masa Bali dan Lombok Barat (Karangasem) merupakan kesatuan daerah kultural. Dari pendapat ini jelas tergambar bahwa Tari Gandrung mulai masuk dan berkembang di Lombok sebelum Kerajaan Lombok (Karangasem) terakhir jatuh pada 1894. Pendapat berikutnya datang dari David Harnish dalam Thesisnya yang berjudul Musical Traditions of the Lombok Balinese (1985:105). Disebutkan dalam tulisan beliau bahwa bentuk Tari Gandrung di Lombok diperkirakan sebagai suatu adaptasi dari model Banyuwangi yang berkembang lewat Bali. Akan tetapi pada perkembangan selanjutnya di Lombok, Tari Gandrung ini menyerap pula bentuk-bentuk atau karakter lokal (Sri Yaningsih et.al., 1993/1994:14-15).
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa Tari Gandrung yang ada di Lombok awalnya berasal dari Banyuwangi, Jawa Timur. Sejak kapan dan bagaimana sehingga Tari Gandrung bisa masuk ke Lombok, secara spesifik belum diketahui secara pasti. Hanya saja terdapat beberapa pendapat yang bisa dijadikan keterangan tentang kapan Tari Gandrung tersebut masuk ke Lombok. Misalnya saja pendapat dari I Wayan Kartawirya yang mendasarkan pendapatnya dari Indische Staatsbald, Nomor: 123 tahun 1852. Dari pendapat ini setidaknya terdapat sedikit keterangan bahwa Tari Gandrung telah masuk ke Lombok setelah tahun 1852. Ukuran waktu juga dapat dilihat dari pendapat yang tertulis dalam buku Monografi Daerah Nusa Tenggara Barat Jilid I (1977). Pendapat yang mendasarkan tentang kesatuan kultural yang terjadi antara Bali dan Lombok Barat (Karangasem), menyisakan sedikit keterangan bahwa peristiwa kesatuan kultural tersebut terjadi sebelum Kerajaan Lombok (Karangasem) terakhir jatuh pada 1894. Agak berbeda dengan dua pendapat di atas, I Wayan Kartawirya berpendapat bahwa Tari Gandrung mulai masuk ke Lombok seiring dengan diangkatnya I Gusti Putu Geria sebagai Pepatih untuk mengepalai orang-orang suku Bali di Lombok sebagai pengganti kedudukan raja Lombok (Raja Agung Ngurah) yang ditaklukan oleh Belanda pada 18 November 1894 (Sri Yaningsih et.al., 1993/1994:13). Pada waktu I Gusti Putu Geria ini memerintah, beliau sempat mendatangkan rombongan kesenian dari Bali Utara (Singaraja) ke Mataram. Di antara rombongan kesenian tersebut, salah satunya adalah Tari Gandrung. I Wayan Kartawirya tidak menyebutkan secara pasti kapan peristiwa itu terjadi. Beliau hanya memperkirakan bahwa kejadian itu berlangsung antara 1907-1910. Menurut beliau, sejak I Gusti Putu Geria mengundang rombongan kesenian dari Bali Utara ini, maka mulai berdatanganlah berbagai jenis tari lainnya dari Bali Utara ke Lombok (Sri Yaningsih et.al., 1993/1994:13-14). Dari ketiga pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kemungkinan, Tari Gandrung mulai masuk ke Lombok setelah tahun 1852 sampai 1910. Setelah tahun 1910 Tari Gandrung telah berkembang di Lombok. Jadi kemungkinan terdapat interval 58 tahun proses masuknya Tari Gandrung ke Lombok. 
Dari kiri ke kanan: Barungan Gamelan Gandrung Desa Dasan Tereng, Barungan Gamelan Gandrung Desa Lenek (memakai cungklik dan suling belo), dan Barungan Gamelan Gandrung Desa Suwangi



Tari Gandrung bagi masyarakat Sasak memuat berbagai makna, seperti ungkapan syukur, suka cita, harapan, sampai dengan kesakralan yang tercermin lewat berbagai sesaji sebelum pertunjukan Tari Gandrung ditampilkan. Lewat Tari Gandrung inilah, simbolisasi tentang harmonisasi antara alam dan manusia dicoba utuk digambarkan oleh para penarinya. Ajaran untuk memanusiakan alam memang akrab bagi masyarakat Sasak di Lombok. Ajaran untuk memanusiakan alam inilah yang mengiringi kehidupan sehingga membentuk kebudayaan Sasak. Mengutip pendapat Bakker, “Kebudayaan adalah alam kodrat sendiri sebagai milik manusia, sebagai ruang lingkup realisasi diri. Dalam kebudayaan manusia memanusiakan alam, termasuk dirinya sendiri” (Bakker, J.W.M., 1979:4).
Simbolisasi yang sangat erat dalam Tari Gandrung dapat dipahami pula sebagai sebuah nilai kebudayaan. Karena dengan melestarikan nilai simbolis ini, berarti pula telah melestarikan tradisi yang merupakan bagian penting dari sebuah kebudayaan. Beragam nilai simbolis yang berada dalam Tari Gandrung antara lain: penari utama dan pengibing. Sebagai sebuah dunia simbolis tentang kesuburan (dimainkan pasca panen padi), pelaku utama dalam Tari Gandrung adalah wanita yang sekaligus merupakan jalinan penyusun makna yang secara inderawi hanya bisa tertangkap visualnya, tetapi dari sisi ini pelaku yang dalam hal ini penari Gandrung adalah makna itu sendiri yang disimbolkan dengan penari (R. Diyah Larasati, 1996:17). Wanita dalam hal ini lebih dimaknai sebagai media pengucapan syukur atas panen padi kepada dewi kesuburan. Wanita dalam konteks ini pula berperan sebagai tokoh sentral dalam sebuah tarian yang memegang peran penting dan sangat dihormati. Kehormatan untuk bisa mengibing dengan penari Gandrung merupakan penghargaan bagi masyarakat Sasak. Demikian pula dengan beberapa aturan yang harus dipatuhi dalam prosesi mengibing. Hal ini secara tersirat menggambarkan bahwa di lingkungan masyarakat Sasak, sosok wanita mendapat kedudukan yang tidak rendah. Kaum wanita dihormati karena memiliki nilai tersendiri yang tidak dimiliki oleh kaum pria.
Makna simbolis lainnya tergambar dalam penepekan, yaitu gerak menyentuhkan kipas antara penari Gandrung kepada salah satu penonton (R. Diyah Larasati, 1996:20). Makna simbolis yang tersirat dalam bagian ini adalah penyatuan gerak dua dunia, yaitu penari dan penonton dalam satu adegan dan arena yang dikenal dengan adegan pengibingan (R. Diyah Larasati, 1996:20). Dari adegan pengibingan ini pula terkandung makna susila yang diwujudkan dengan rambun/tangkai sesumping yang terbuat dari bambu yang tajam/runcing. Fungsi dari rambun ini sebagai pengendali apabila pengibing melakukan tindakan asusila. Di sini tergambar adanya norma kebebasan tetapi tetap menjaga kewaspadaan dan saling menghormati antara pelaku pertunjukan. Hal ini merupakan refleksi sistem sosial (kebudayaan) yang melingkupi komunitas Sasak (R. Diyah Larasati, 1996:20).
Selain makna simbolis di atas, dalam tradisi masyarakat Sasak, seorang penari Gandrung merupakan seorang perempuan yang masih gadis atau remaja. Seperti ditulis dalam artikel R. Diyah Larasati, “Gandrung di Lombok Barat: Ekspresi Simbolis Komunitas Sasak”, penari yang dipilih biasanya masih memiliki hubungan darah dengan penari sebelumnya. Para penari ini terus bergantian melakukan proses transmisi (pewarisan) kepada para gadis yang lebih muda. Biasanya pergantian ini terjadi karena seorang penari menikah atau pergi ke luar desa. Apabila sampai pada suatu saat tidak ada seorang gadispun yang bisa menggantikan kedudukan penari sebelumnya, maka penari tersebut akan memilih melajang (tidak kawin) dan memenuhi tugas simbolis masyarakat pendukungnya (R. Diyah Larasati, 1996 :22-23).  Di sinilah pengorbanan menjadi sebuah konsekuensi bagi para wanita penari Gandrung. Pengorban yang harus dilakukan demi melestarikan nilai-nilai simbolisasi budaya yang terdapat pada masyarakat Sasak di Lombok.


No comments:

Post a Comment