Monday, July 7, 2014

Rebo Buntung, Ritual Menjaga Keseimbangan Alam

Setiap hari rabu terakhir bulan Safar dalam Kalendar Hijriah, Kawasan Pantai Tanjung Menangis, Desa Ketapang, Kecamatan Pringgabaya, Kabupaten Lombok Timur, menjadi perhatian ribuan orang. Mereka berkumpul untuk menggelar rangkaian ritual Rebo Buntung dan Tetulaq Tamperan.
Dalam kebudayaan masyarakat Lombok, ritual ini adalah untuk menolak bala dan bentuk syukur kepada Tuhan atas semua nikmat yang diberikan. Di tiap tahunnya, tradisi ini dilaksanakan hanya di tiga tempat di Sungai Jangkuk (Dasan Agung, Kota Mataram), Pantai Tanjung Menangis (Pringgabaya, Lombok Timur), dan di Desa Kuranji (Labuapi, Lombok Barat). Ritual Rebo Buntung dan Tetulaq Tamperan di Pantai Tanjung Menangis sendiri, pelaksanaannya melewati rangkaian-rangkaian selama beberapa hari, dan puncaknya pada hari Rabu pada minggu itu.

Dalam prosesinya, segenap lapisan masyarakat, termasuk tokoh adat berkumpul di Pantai Tanjung Menangis, Ketapang, untuk melarung atau melepas kepala sapi – di awal-awal pelaksanaannya menggunakan kepala kerbau – ke tengah laut. Selain kepala sapi, ada juga pesaji/sesaji lainnya yang dipersiapkan. Pesaji/sejaji berupa hasil bumi seperti padi, buah-buahan, daun sirih, ayam hidup dan lainnya. Kepala sapi dan seluruh sesaji lainnya itu kemudian di buang ke laut menggunakan perahu. Setelah itu, masyarakat yang sudah mengikuti rangkaian acara dari pagi beramai-ramai mandi ke laut yang dipercaya sebagai cara untuk membersihkan diri dari sikap negatif, serta melahirkan kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat.
Tapi keseluruhan, tujuan luhur dari Ritual Rebo Buntung dan Tetulaq Tamperan yang berdasarkan catatan sejarah sudah berusia 144 tahun itu sebenarnya adalah bentuk kesadaran dari dulu, dari nenek moyang warga Pringgabaya hingga sekarang, yang percaya bahwa kehidupan mereka tidak bisa lepas dari alam. Mereka percaya bahwa semua yang diperoleh berasal dari alam dan harus dikembalikan ke alam.

Bahkan, untuk mempertegas pentingnya memiliki kesadaran ini, Bupati Lombok Timur yang hadir, dalam sambutannya menyampaikan bahwa ketika kita bersahabat dengan alam, maka alam juga akan bersahabat dengan kita, begitupun sebaliknya, jika kita tidak bersahabat dengan alam, maka siap-siaplah untuk menerima bencana. Bupati juga menyampaikan bahwa ritual ini adalah upaya untuk melahirkan kedamaian, ketenangan dan kenyamanan dalam kehidupan masyarakat. Sehingga, ia mengajak seluruh masyarakat untuk menyeimbangkan kehidupan dengan alam agar tetap lestari. Ia menilai bahwa alam selama ini disalah artikan, hanya dianggap sebagai ladang eksplorasi, yang hanya diambil isinya, tapi tidak dilestarikan. Munculnya berbagai bencana alam akibat perubahan iklim, disadari sebagai akibat dari rusaknya keseimbangan alam, sehingga ia berkali-kali mengajak masyarakat yang hadir untuk menghindari segala bentuk tindakan yang dapat merusak keseimbangan alam.

Oleh karena ini, pemerintah Lombok Timur akan berupaya memberikan perhatian agar ritual ini terus dilestarikan ke depan sebagai upaya untuk tetap mendekatkan masyarakat akan pentingnya menjaga dan cinta pada alam. Wilayah Pringgabaya sendiri, memiliki panjang perairan laut sekitar 27, 38 km. Di Area Pantai Tanjung Menangis sendiri, ada sekitar 300 KK yang menjadi keluarga nelayan. Sayang, beberapa tahun terakhir ini, jumlah hasil tangkapan mereka terus mengalami penurunan. Ada Perusahaan Tambang besar di pulau seberang yang memang jaraknya tidak begitu jauh dari erkampungan nelayan disana, plus beberapa pihak yang seringkali melakukan penangkapan ikan dengan pengeboman, diyakini menjadi penyebab hal itu.

Selain Rabo Buntung, bentuk kearifan lokal yang juga masih dipelihara dengan baik oleh masyarakat Pringgabaya, yang juga sebagai bentuk syukur pada Tuhan dan Alam adalah Ritual Tetulaq Desa, dan Tetulaq Kampung. Kedua ritual tersebut dilaksanakan sebulan sebelum Rebo Buntung dan Tetulaq Tamperan dilaksanakan.

No comments:

Post a Comment